Jumat, 02 Agustus 2013

ASET TERBESAR KALIMANTAN

Alat musik tradisional Sampe atau Sape', yang berasal dari Kalimantan (Borneo) Indonesia ini adalah alat musik yang dimainkan dengan cara dipetik, alat musik ini adalah alat musik khas Borneo yang biasa dimainkan oleh suku Dayak, bentuk alat musik ini seperti alat musik gitar, namun pada sape' atau sampe sendiri terbuat dari kayu dan terdapat ornamen, hiasan khas suku Dayak. 
Sejarah
Do you know? Arti Sampe dalam bahasa lokal dayak sendiri dapat diartikan "Memetik dengan jari", namun penamaan alat musik ini ternyata berbeda - beda dengan di tiap - tiap sub etnis yang ada dikalimantan. Nama sampe (sampe’) digunakan oleh orang-orang suku Dayak Kenyah, orang-orang suku Dayak Bahau dan Kanyaan menyebutnya dengan nama sape (sape’), suku Dayak Modang mengenal alat musik ini sebagai sempe, sedangkan orang-orang Dayak Tunjung dan Banua menamainya dengan sebutan kecapai’ (Tim Peneliti, 1993:42). Penyebutan terakhir, yakni kecapai’, semakin memberikan gambaran yang sedikit lebih jelas mengenai seperti apa sebenarnya wujud alat musik petik ini. Kata kecapai’ nyaris mirip dengan kecapi, alat musik petik dari Jawa Barat, yang tampaknya lebih sering didengar oleh masyarakat pada umumnya. Dari segi bentuk, alat musik petik yang menyerupai sampe adalah hapetan, alat musik khas Batak dari Tapanuli (Sumatra Utara) dan  jungga yang dimainkan oleh orang - orang rumpun Melayu dari Sulawesi Selatan (http://sukolaras.wordpress.com).
Meski sama-sama berjenis alat musik petik, namun sampe atau sape' agak berbeda dengan gitar dalam cara memainkannya. Dalam memainkan gitar harus menggunakan satu tangan saja untuk memetik senar, sedangkan tangan lainnya difungsikan untuk mengatur nada (kunci) pada dawai (senar) yang terdapat pada gagang gitar. Lain halnya dengan sampe di mana alat musik ini dapat dimainkan justru dengan jari-jari dari kedua belah tangan. Bedanya lagi, apabila gitar pada umumnya memiliki 6 (enam) senar, pada sampe biasanya hanya terdapat 3 (tiga) senar meskipun ada juga sape' yang bersenar 4 (empat) dan seterusnya. Dulu, dawai sape' menggunakan tali dari serat pohon enau (sejenis pohon aren), namun kini sudah memakai kawat kecil sebagai dawainya. Pada bagian kepala sape' (ujung gagang), dipasang hiasan ukiran yang menggambarkan taring-taring dan kepala burung enggang. Burung yang dianggap sebagai burung keramat. Ukiran burung temengan yang ditempatkan di sape' diyakini dapat memberikan perlindungan dan rasa aman (Tim Peneliti, 1993:42).
Terdapat sebuah mitos dalam tradisi masyarakat Dayak yang mengisahkan tentang asal-usul sampe atau sape'. Dikisahkan, dulu terdapat sebuah perahu yang memuat beberapa orang mengalami karam karena diterjang arus sungai. Dari semua penumpang yang ikut tenggelam bersama perahu itu, ternyata ada satu orang yang selamat dan terdampar di sebuah pulau kecil yang berada di tengah sungai besar itu. Dalam kondisi antara sadar dan tidak, orang yang selamat itu samar-samar mendengar suara alunan musik petik yang begitu indah. Irama petikan yang terdengar dari dasar sungai tersebut membuat orang itu sadar karena semakin sering dia mendengar suara itu, dia merasa semakin dekat pula dengan sumber suara musik itu berasal. Dari sinilah orang itu kemudian merasa bahwa dia mendapat ilham dari leluhur hingga akhirnya dia bisa pulang ke rumah dengan selamat. Sekembalinya ke rumah, orang itu mencoba membuat alat musik yang telah menolongnya tersebut, dan setelah selesai, dia memainkannya sesuai dengan irama yang didengarnya sewaktu terdampar di pulau. Sejak itulah sampe mulai sering dimainkan dalam upacara - upacara adat atau dalam kehidupan sehari-hari dan kemudian menjadi alat musik khas suku Dayak yang masih dipertahankan hingga kini (http://kutaihulu.blogspot.com). 
Alat musik petik sampe dibuat dari bahan kayu pilihan, misalnya saja kayu pelantan, kayu adau, kayu marang, kayu tabalok, dan sejenisnya, jenis kayu - kayu itu dipilih konon kayu - kayu dikarenakan cukup kuat, artinya kayu - kayu tersebut diatas adalah jenis kayu - kayu yang tidak mudah pecah, keras, tahan lama dan tidak mudah dirusak atau dimakan binatang - bintang seperti rayap. Dalam aturan yang menjadi pandangan adalah, semakin keras dan semakin banyak kandungan urat daging kayu tersebut, maka suara yang dihasilkan sampe yang dibuat akan semakin baik pula. (sumber : http://kutaihulu.blogspot.com). Sedangkan untuk dawai atau senar sampe atau sape', pada awalnya masih menggunakan tali yang berasal dari serat pohon enau atau aren, namun sekarang senar sampe atau sape' sering dibuat dari bahan kawat tipis sehingga bunyinya akan terdengar lebih nyaring. (sumber : tim peneliti, 1993:43).
Pemetik sampe atau sape' memainkan lagu hanya dengan berdasarkan feeling atau perasaannya saja sehingga bunyi yang dihasilkan pun akan mengena sesuai dengan perasaan si pemetik. Sampe atau sape' adalah alat musik yang berfungsi untuk menyatakan perasaan, baik perasaan riang gembira, rasa sayang, kerinduan, bahkan rasa duka nestapa. Dahulu, memainkan sampe pada siang hari dan malam hari memiliki perbedaan. Apabila dimainkan pada siang hari, umumnya irama yang dihasilkan sampe menyatakan perasaan gembira dan suka-ria. Sedangkan jika sampe atau sape' dimainkan pada malam hari biasanya akan menghasilkan irama yang bernada sendu, syahdu, atau sedih. Terdapat ungkapan mengenai sampe atau sape' yang termuat dalam Tekuak Lawe, sastra lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi dalam tradisi masyarakat Dayak, khususnya suku Dayak Kanyaan dan Kenyah. Ungkapan yang berbunyi sape’ benutah tulaang to’ awah itu secara harfiah dapat diartikan dengan makna: “Sampe mampu meremukkan tulang-belulang hantu yang bergentayangan”. Ungkapan tersebut menggambarkan bahwa alat musik sampe mampu membuat orang yang mendengarnya merinding hingga menyentuh tulang atau perasaan. Bagi para tetua adat Dayak di zaman dulu, keyakinan akan kesakralan sampe memang betul bisa dirasakan karena suasana pedesaan dan nuansa adat pada saat itu masih sangat kental (Handoko, dalam Kompas, 4 Februari 2011). 

Hingga kini, kepercayaan akan tuah
 sampe atau sape' masih diyakini oleh para sesepuh Dayak, misalnya ketika sampe atau sape' dimainkan dalam suatu upacara adat. Saat bunyi petikan terdengar, seluruh orang akan terdiam, kemudian terdengar sayup-sayup lantunan doa atau mantra yang dirapalkan bersama-sama. Dalam suasana seperti ini, tidak jarang di antara mereka ada yang kerasukan (trance) roh halus atau roh leluhur (Yusuf Efendi, dalam www.MelayuOnline.com). Sampe atau sape' juga dimainkan pada saat acara pesta rakyat atau gawai padai (ritual syukuran atas hasil panen padi).  Juga dimainkan untuk mengiringi tari-tarian yang lemah gemulai.
Di masa lalu, sampe hanya dimiliki oleh suku Dayak, itupun hanya orang-orang tertentu yang mampu memainkannya. Namun, di masa sekarang, sampe sudah dimainkan oleh suku-suku lainnya yang terdapat di Kalimantan Timur. Di level nasional, sampe juga mulai diperkenalkan melalui berbagai acara budaya atau pesta adat, bahkan tidak hanya yang diselenggarakan di Kalimantan Timur saja , melainkan juga di kota-kota lain. Selain itu, upaya pelestarian sampe juga sudah mulai digalakkan, termasuk diajarkan di sekolah-sekolah atau dalam pelatihan, kursus, dan lainnya. Semua itu dilakukan agar sampe tidak hilang ditelan kemajuan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar